BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Keberadaan bahasa pada dasarnya tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, terutama dalam kehidupan bermasyarakat yang
menuntut manusia tersebut berhubungan dan bekerja sama dengan sesamanya,
sehingga untuk memenuhi hasratnya sebagai makhluk sosial yang perlu
berinteraksi dengan orang lain, maka manusia memerlukan alat yang disebut
bahasa. Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, dengan bahasa
manusia dapat menyampaikan berbagai gagasan, pikiran, dan perasaannya.
Media massa merupakan salah satu alat
yang dapat berperan penting bagi perkembangan bahasa yaitu untuk membantu
proses pengiriman atau penyampaian informasi. Penyampaian pesan akan suatu
informasi dapat dilakukan melalui dua saluran, media cetak dan media
elektronik. Televisi yang menjadi bagian dari media elektronik mempunyai bagian
besar dalam menyampaikan suatu informasi berupa tuturan-tuturan. Hal ini
dikarenakan media elektonik merupakan media yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Selain itu, tuturan dalam media tersebut memiliki kecenderungan
menggunakan tindak tutur yang berbeda bila dibandingkan dengan media elektronik
lainnya.
Tindak tutur adalah salah satu kegiatan
fungsional manusia sebagai makhluk yang berbahasa. Karena sifat tindak tutur
yang fungsional, setiap manusia selalu berupaya untuk melakukan dengan
sebaik-baiknya, baik melalui pemerolehan maupun pembelajaran. Pemerolehan
bahasa lazimnya dilakukan secara nonformal, sedangkan pembelajaran dilakukan
secara formal (Subyakto, 1992:88).
Menurut Searle (1962) dalam (Rani dkk,
2006:158) dikatakan bahwa di dalam komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia
berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar lambang kata atau kalimat,
tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil lambang, kata atau
kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Lebih jelasnya, tindak tutur
adalah hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan
terkecil dari komunikasi bahasa.
Tindak tutur dalam ujaran suatu kalimat
merupakan penentu makna kalimat itu. Namun, makna suatu kalimat tidak
ditentukan oleh satu-satunya tindak tutur seperti yang berlaku dalam kalimat
yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu terdapat kemungkinan untuk menyatakan
secara tepat apa yang dimaksud oleh penuturnya. Oleh sebab itu, sangat mungkin dalam
setiap tindak tutur, penutur menuturkan kalimat yang unik karena berusaha
menyesuaikan ujaran dengan konteksnya ( Jayanti, 2010).
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas, adapun rumusan masalah yang penulis angkat pada makalah
ini, antara lain:
a.
Bagaimanakah konsep tindak tutur?
b.
Apa sajakah jenis-jenis tindak tutur?
c.
Apa saja fungsi dan bentuk tindak
tutur?
d.
Bagaimana strategi penyampaian
tindak tutur?
1.3 Tujuan
v Tujuan Umum
a.
Untuk melatih diri dalam meningkatkan
kemampuan keterampilan dalam mempresentasikan hasil kerja kelompok
v Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui konsep tindak
tutur.
b.
Untuk menambah pengetahuan
mengenai objek kajian pragmatik terutama mengenai tindak tutur berupa jenis
tindak tutur.
c.
Untuk mengetahui fungsi dan bentuk
tindak tutur.
d.
Untuk mengetahui strategi
penyampaian tindak tutur.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Tindak
Tutur
Konsep tindak tutur
merupakan salah satu konsep yang cukup menonjol dalam perteorian linguistik
masa kini. Konsep ini muncul beranjak dari upaya ilmiah dalam mengkaji fungsi
bahasa dalam berkomunikasi secara lebih konkret (berdasarkan pandangan
fungsional), tidak hanya sekadar mengkaji bahasa untuk mendapatkan deskripsi
tentang sistem bahasa (berdasarkan pandangan formal). Dalam kaitan ini, May
(1996) mengatakan bahwa bila selama ini banyak teori linguistik membuat premis
dan asumsi yang agak sederhana tentang bahasa manusia, yaitu bahasa itu bukan
apa-apa, melainkan kombinasi bunyi dan makna (seperti dalam kebanyakan
gramatika deskriptif) atau bahwa bahasa dapat didefinisikan sebagai satu set
kalimat yang benar (dalam pemikiran transformasional generatif). Kekurangan
utama dari konsep teoritis tersebut adalah bahwa mereka tidak melihat bahasa
sebagai suatu tindak, yaitu tindakan yang memproduksi tindak tutur.
Dalam kajian tindak tutur, biasanya beranjak dari karya Austin
(1962), pakar filsafat dan linguistik dari Inggris tentang tindak tutur itu.
Menurut Austin, kajian tentang makna haruslah tidak hanya mengonsentrasikan
diri pada pernyataan-pernyataan kosong, seperti Salju itu putih, lepas
dari konteks, karena bahasa itu benar-benar dipakai dalam bentuk tutur, dalam
berbagai fungsi atau dalam berbagai maksud dan tujuan. Ketika bertutur, kita
memberi saran, berjanji, mengundang, meminta, melarang, dan sebagainya
(Sumarsono, 2002:322). Austin menegaskan juga bahwa terdapat banyak hal yang berbeda yang bisa
dilakukan dengan kata-kata. Sebagai ujaran bukanlah pernyataan atau pertanyaan
tentang informasi tertentu, tetapi ujaran itu menyatakan tindakan (Ibrahim,
1992:106). Sebagaimana yang dikatakan Milanowski, dalam beberapa hal kita
memakai tuturan untuk membentuk tindakan, bahkan dalam pengertian yang ekstrem,
sering dikatakan, tuturan itu sendiri adalah tindakan (Sumarsono, 2002:322).
Misalnya, dalam upacara
pemberian nama terhadap kapal yang akan dilautkan pertama kali, seseorang
mungkin berujar, “Saya namakan kapal ini K.M. Kartini.” Sambil memotong
tambang penambat kapal. Ujaran semacam ini disebut ujaran performatif, ujaran
yang benar-benar membentuk tindakan. Ia berujar (dengan kata kerja”…namakan”)
sekaligus bertindak (menamakan kapal). Kalimat itu berbeda dengan kalimat
“berita biasa, kalimat konstantif, “Saya menamakan kapal itu K.M. Kartini.”
yang diucapkan setelah peristiwa di atas. Kalimat ini juga menyatakan tindakan,
tetapi tidak terlalu tampak membentuk tindakan.
Berdasarkan pandangan bahwa ujaran bukanlah pernyataan atau pertanyaan
tentang informasi tertentu, tetapi ujaran itu menyatakan bahkan merupakan
tindakan, Austin membedakan aspek (kekuatan) tindak tutur atas lokusi, ilokusi,
dan perlokusi. Konsep tindak tutur tersebut adalah salah satu teori Austin yang
banyak dikutip, dikritisi, dan dikembangkan oleh para ahli pragmatik.
Perkembangan teori tindak tutur dapat dikatakan bertolak dari konsep Austin
tersebut.
Walaupun hanya bagian kecil dari penggunaan bahasa
dalam interaksi sosial, kajian tindak tutur menyangkut aspek yang sangat luas.
Dalam melaksanakannya, konsep tindak
tutur dapat terkait dengan berbagai
bidang, seperti linguistik, teori makna, teori wacana, dan teori pragmatik itu
sendiri. Pembicaraan tentang tindak tutur di sini hanya terbatas pada hal-hal
mendasar dan umum, tidak menjangkau hal yang terlalu spesifik dan rumit.
Dalam kehidupan sehari-hari, tiap anggota
masyarakat selalu melakukan interaksi sosial.
Dalam interaksi sosial tersebut, pada umumnya, mereka menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam hal ini,
penggunaan bahasa tersebut dapat berupa wacana ataupun percakapan yang
diwujudkan menggunakan satu, beberapa, atau banyak tuturan. Tiap tuturan (dalam wacana atau
percakapan) yang disampaikan oleh penutur atau penulis kepada mitra tutur atau
pembaca mempunyai makna atau maksud
dengan tujuan tertentu. Makna atau
maksud dan tujuan tuturan itu (dapat dikatakan) menyatakan tindakan. Maksud
dan tujuan yang menyatakan tindakan yang melekat pada tuturan itu disebut
dengan tindak tutur.
Hal itu sejalan
dengan pandangan Grice (1975) yang menyatakan bahwa
berkomunikasi itu ibarat suatu proses kerja sama antara penyapa dan pesapa
melalui wahana bahasa untuk mencapai negosiasi makna. Hawthorn (1992)
menambahkan bahwa komunikasi kebahasaan adalah wacana yang terlihat sebagai
sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas
personal bentuknya ditentukan oleh
tujuan sosial.
Dengan
demikian, bahasa merupakan alat komunikasi yang
digunakan oleh anggota masyarakat dalam interaksi sosial. Dalam
interaksi tersebut tampak adanya upaya penyampaian gagasan, pertukaran gagasan,
melalui kerja sama di antara penutur dan mitra tutur. Dapat dipastikan bahwa
dalam aktivitas komunikasi tersebut senantiasa terjadi kegiatan bertutur. Dalam
kaitannya dengan kegiatan bertutur sebagai aktivitas komunikasi, Richard
(1995:6) menjelaskan bahwa kegiatan bertutur adalah suatu tindakan. Jika
kegiatan bertutur dianggap sebagai tindakan, berarti setiap kegiatan bertutur
atau menggunakan tuturan terjadi tindak tutur. Hakikat tindak tutur itu adalah tindakan
yang dinyatakan dengan makna atau fungsi (maksud dan tujuan)
yang melekat pada tuturan. Tindak tutur merupakan unit terkecil aktivitas
bertutur (percakapan atau wacana) yang terjadi dalam interaksi sosial.
Aspek wujud
linguistik berupa tuturan sebagai bagian dari keseluruhan
aktivitas komunikasi disebut bentuk tindak tutur (Hymes dalam Duranti, 2001). Tindak tutur harus
dibedakan dari kalimat dan tidak bisa diidentifikasikan dengan unit kalimat dan
pada level gramatikal manapun. Tindak tutur bisa memiliki bentuk-bentuk yang
bervariasi. Bentuk-bentuk itu hanya bisa dikenali melalui konteks (Hymes,1974 dan Austin dalam Searle, 1985:16; Richard, 1995:6). Tindak tutur yang melekat pada tuturan dengan fungsi yang
direpresentasikannya dan strategi penggunaannya hanya bisa dikenali secara
jelas melalui tuturan dan konteks penggunaannya dalam peristiwa tutur. (Leech:1993:13) Sperber dan Wilson
(1998:10) menegaskan bahwa sebuah tuturan memiliki dua pranti, piranti
linguistik dan nonlinguistik. Struktur formal tuturan tidak harus berisi
serangkaian kalimat, kata pun bisa menjadi tuturan sebagai peranti linguistik
asalkan mengandung peranti nonlinguistik, seperti waktu dan tempat, identitas
penutur, maksud penutur, dan sebagainya.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
tindak tutur adalah sepenggal tuturan yang dihasilkan sebagai bagian terkecil
dalam interaksi lingual. Tindak tutur dapat berwujud pernyataan, pertanyaan,
dan perintah (Suwito. 1983: 33) dalam (Aslinda dan Syafyahya. 2007: 34).
2.2 Jenis Tindak tutur
Austin
(dalam Searle, 1969) menjelaskan bahwa tindak tutur dalam situasi tuturan
secara keseluruhan adalah satu-satunya fenomena aktual yang kita lakukan
sehari-hari. Bahasa itu baru bermakna dalam tuturan. Bahasa itu digunakan dan
melibatkan penutur dalam situasi, dan di dalam keterlibatannya dalam situasi
tutur, penutur itulah yang memiliki makna. Hal serupa juga disampaikan
(Halliday, 1978:Firth, 1974) yang menyatakan bahwa bahasa sebagai sarana sosial
berfungsi melayani kebutuhan penuturnya untuk mencapai tujuan-tujuan
komunikasi. Tujuan-tujuan komunikasi tersebut menunjukkan bahasa itu bersifat problem-solving, yaitu bahasa digunakan
untuk memenuhi kebutuhan tertentu, dan bersifat sosial. Kebutuhan sosial
tersebut merupakan makna yang mendasari tindak tutur itu.
Dengan keadaan ini dapat dilihat bahwa
terdapat hubungan yang erat antara pengguna bahasa dan konteks. Berdasarkan
pendapat Austin, Searle (1969) menjelaskan bahwa suatu tindak tutur memiliki
makna di dalam konteks, dan makna itu dapat dikategorikan ke dalam makna
lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Hal itu juga disampaikan May (996) bahwa menurut Austin mengucapkan sesuatu adalah
melakukan sesuatu, dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadian
karena kebanyakan ujaran, yang merupakan tindak tutur, mempunyai daya atau
kekuatan. Berdasarkan hal tersebut, Austin membedakan atau mengklasifikasi
tindak tutur menjadi tiga jenis berdasarkan
daya atau kekuatan yang dimilikinya. Ketiga jenis tindak tutur tersebut
sebagai berikut.
(1) Lokusi adalah makna dasar dan makna
referensi (makna sebenarnya yang diacu) oleh tuturan itu.
Dengan kata lain lokusi adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat,
sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu sendiri.(Tarigan,
1990:37)
Bila diamati secara
saksama, konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat.
Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri
atas dua unsur, yakni subjek atau topik dan predikat atau coment. Lebih jauh tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif
paling mudah untuk diidentifikasikan karena pengidentifikasiannya cenderung
dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan. (Wijana, 1996: 18)
(2) Ilokusi adalah
fungsi atau maksud dan tujuan penggunaan
tuturan itu. Dengan kata lain ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan
maksud dan fungsi tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya.
(3) Perlokusi adalah hasil atau dampak maksud dan tujuan penggunaan tuturan itu terhadap pendengar, baik yang sesuai dengan yang
diharapkan maupun yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata lain
perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh kepada sang mitra tutur oleh
penutur. (Kunjana, 2002:17)
Marmo Soemarmo (1988)
dalam Sumarsono (2002:323) memberikan
contoh dan ilustrasi sebagai berikut. Seseorang datang ke rumah temannya, dan
di sana dia berujar, “Rumahmu bersih sekali.” Lokusi kalimat itu
menggambarkan keadaan rumah yang dimiliki pendengarnya, yaitu keadaan yang
bersih sekali. Dari sudut ilokusi, upaya itu berfungsi atau mempunyai maksud
dan tujuan untuk memuji, kalau keadaan rumah itu dipercaya benar-benar bersih.
Jika keadaannya justru kotor, ucapan itu bermaksud dan bertujuan untuk
mengejek. Kalau ilokusinya adalah pujian, perlokusinya atau dampak tindak tutur
itu dapat membuat pendengarnya gembira, diwujudkan dengan kalimat tanggapan
seperti “Terima kasih”, “Ah rumah tua.”, dan sebagainya. Kalau
ilokusinya berupa ejekan, perlokusinya membuat pendengar malu, terhina, atau
marah. Ujaran pendengar mungkin, “Maaf Pak, belum sempat nyapu.”
Pujian, ejekan, keluhan, janji, dan sebagainya merupakan fungsi atau
maksud dan tujuan tindak tutur. Hal ini menunjukkan bahwa pada ilokusi itu,
dalam hal tertentu, melekat fungsi
tindak tutur yang melekat dalam tuturan (Sumarsono, 2002: 323). Tanpa harus menyelami secara mendetail, kita
dapat mengatakan secara aman bahwa
kekuatan ilokusi yang banyak digeluti oleh ahli tindak tutur (meskipun dari
sudut pandang pragmatik, aspek perlokusi adalah yang paling menarik).
Yule (1998) menjelaskan bahwa
ada banyak macam tindak tutur sebagai maksud
atau tujuan komunikatif penutur dalam memproduksi
sebuah ujaran dalam suatu konteks.
Biasanya penutur mengharapkan bahwa maksud komunikasinya akan
diketahui oleh pendengar. Dalam proses ini, baik
penutur maupun pendengar biasanya terbantu oleh keadaan-keadaan atau
konteks yang menyertai ujaran tersebut. Keadaan-keadaan ini, termasuk rangkaian
ujaran yang lain, yang dalam kajian secara
sosiolinguistik disebut peristiwa tutur. Dalam banyak hal, sifat
peristiwa tutur itulah yang menentukan interpretasi ujaran sebagai ujaran yang
melakukan suatu tindak tutur tertentu.
Berkaitan dengan hal
tersebut, Yule (1998) memberikan contoh sebagai berikut. Pada suatu hari yang
dingin, penutur mengulurkan tangannya mengambil secangkir teh. Karena yakin bahwa teh tersebut baru saja dibuat, dia
meminumnya sedikit, dan menghasilkan ujaran
dalam nomor 1. Ujaran tersebut dapat diinterpretasikan sebagai sebuah
keluhan.
1. This tea is
really cold!
(Teh ini
benar-benar dingin!)
Dengan
mengubah keadaan menjadi hari musim panas yang
benar-benar panas. Penutur yang
diberi segelas es teh dan meminumnya sedikit lalu memproduksi ujaran
dalam 1. Ujaran tersebut mungkin sekali diinterpretasikan sebagai pujian. Kemudian, dalam konteks dan peristiwa tutur lain,
tuturan tersebut bisa saja ditafsirkan berbeda.
Hal serupa juga pada hal
berikut ini. Menurut Levinson, berdasarkan kondisinya, tuturan (2) dapat
memiliki daya ilokusi, yaitu menyuruh, mendesak, menyarankan seseorang untuk
memiliki pengaruh perlokusi, yakni meyakinkan atau mengancam seseorang untuk
memukul dia. Tuturan (3) pun dapat memiliki daya ilokusi untuk memprotes, namun
juga memiliki akibat perlokusi, yakni pengecekan tindakan kepada seseorang atau
dapat juga bermakna memarahi.
(2) Pukul dia!
(3) Kamu pasti bisa
melakukannya.
Dengan demikian, menurut Yule, jika ujaran yang sama dapat
diinterpretasikan sebagai dua jenis tindak tutur yang berbeda, maka jelas
sekali bahwa tidak ada satupun ujaran sederhana bila dicari kesesuaiannya atau
dikaitkan dengan tindakan yang mungkin terjadi dalam suatu konteks. Hal itu
berarti pula bahwa ada lebih banyak hal yang
dapat dilakukan untuk menginterpretasikan suatu tindak tutur yang dapat
ditemukan dalam ujaran itu.
2.3 Fungsi Tindak Tutur
Berdasarkan uraian
yang telah disampaikan pada bagian 2, hakikat tindak tutur itu adalah tuturan
yang menyatakan tindakan, tindakan yang melekat pada tuturan, atau tindakan
yang dinyatakan dengan tuturan.
Tiap tindak tutur
mempunyai fungsi. Fungsi tindak tutur itu tampak pada maksud atau tujuan (untuk
apa tuturan itu disampaikan). Misalnya : “Panas sekali ruangan ini.”
(Dituturkan seorang dosen kepada mahasiswa saat kuliah). Dalam konteks
pertuturan tersebut, dapat ditafsirkan bahwa tuturan tersebut berfungsi,
bermaksud, atau bertujuan untuk meminta mahasiswa membuka jendela, pintu,
atau menyalakan AC agar ruangan itu sejuk. Jadi, secara singkat dapat dikatakan
fungsi tindak tutur tersebut adalah untuk meminta. Selanjutnya, karena
berfungsi untuk meminta, tindak tutur tersebut dapat disebut tindak
tutur meminta atau permintaan. Dengan kata lain, berdasarkan
fungsinya, tindak tutur tersebut dapat
disebut tindak tutur meminta atau permintaan. Tindak tutur yang
menghendaki lawan tutur melakukan sesuatu seperti halnya permintaan tergolong
tindak tutur direktif.
Hal itu sejalan dengan yang dikatakan
Searle (1969) bahwa berdasarkan fungsinya, tindak tutur dapat dibedakan atas
tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. (1) Asertif (Assertives): bermaksud
menyampaikan sesuatu berkaitan dengan kebenaran proposisi atau pernyataan yang
diungkap, misalnya, menyatakan menerima atau menolak, mengusulkan, membual,
mengeluh, mengajukan pendapat, melaporkan. (2) Direktif (Directives):
ilokusi ini bertujuan meminta lawan tutur melakukan sesuatu untuk menghasilkan
suatu efek terhadap tindakan yang dilakukan oleh penutur; misalnya, memesan,
memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat. (3) Komisif (Commissives):
ilokusi bertujuan untuk menyampaikan sesuatu yang terikat pada suatu tindakan
di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan. (4) Ekspresif (Expressive):
fungsi ilokusi ini adalah mengungkap atau mengutarakan sikap psikologis penutur
terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya, mengucapkan terima
kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan
belasungkawa, dan sebagainya. (5) Deklarasi (Declaration): fungsi
ilokusi ini adalah untuk mengungkapkan pernyataannya yang keberhasilan
pelaksananya tampak pada adanya kesesuaiannya dengan realitas tindakan,
misalnya, mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan
hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.
Pada tingkat yang paling umum,
Leech (1983:176) mengatakan bahwa fungsi
sosial tindak ilokusi dapat dibagi menjadi empat jenis, sesuai dengan
hubungan fungsi-fungsi tersebut dengan tujuan-tujuan sosial berupa pemeliharaan
perilaku yang sopan dan terhormat. Dalam pandangan tersebut, klasifikasi fungsi
ilokusi Leech adalah sebagai berikut. (1)
Kompetitif (Competitif), tujuan ilokusi yang bersaing dengan tujuan sosial, misalnya
memerintah, meminta, menuntut, mengemis, dan menolak. (2) Menyenangkan (convivial),
tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial,
misalnya menawarkan, mengajak, atau mengundang, menyapa mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat. (3) Bekerja
sama (collaborative), tujuan ilokusi ini tidak menghiraukan
tujuan sosial, misalnya menyatakan (menerima), melapor, mengumumkan,
mengajarkan. (4) Bertentangan (conflictive), tujuan ilokusi ini
bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh, menyumpahi,
memarahi, mengecam. Dalam membicarakan perilaku linguistik yang sopan dan tidak
sopan, perhatian hanya dipusatkan khusus pada ilokusi kompetitif dan ilokusi
menyenangkan, dan pada kategori-kategori sopan santun yang negatif dan positif
pada ilokusi-ilokusi tersebut.
Sebagai contoh, dalam hubungannya
dengan fungsi sosial berupa pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat,
sebagai maksud atau tujuan personal, menurut Leech (1983:176) tindak tutur
direktif tergolong fungsi kompetitif atau bersaing dengan tujuan sosial.
Tujuan-tujuan kompetitif itu pada dasarnya tidak bertata karma dan secara
intrinsik tidak sopan dan cenderung menimbulkan konflik, misalnya memerintah,
meminta, bertanya, bila disampaikan apa adanya cenderung memaksa. Di sini, tata
krama dibedakan dengan sopan santun. Tata krama mengacu kepada tujuan,
sedangkan sopan santun mengacu kepada perilaku linguistik atau perilaku lainnya
untuk mencapai tujuan itu. Oleh karena itu,
prinsip sopan santun dibutuhkan dalam penggunaan tindak tutur ini, untuk
melemahkan atau memperlembut sifat tidak sopan yang secara intrinsik terkandung
di dalam tujuannya. Hal itu dilakukan agar kedua belah pihak saling menghormati
atau saling menguntungkan satu sama lain, tidak saling merugikan.
2.4 Bentuk Tindak Tutur
Hakikat tindak
tutur itu adalah tindakan yang tampak pada makna atau maksud tuturan seperti
untuk memerintah, memuji, memberikan informasi, dan sebagainya yang dinyatakan
dengan tuturan. Tindakan yang dinyatakan tuturan itu merupakan unit terkecil
aktivitas bertutur (Richard,1995:6). Aspek wujud linguistik berupa tuturan
sebagai bagian dari keseluruhan aktivitas komunikasi disebut bentuk tindak tutur (Hymes (1974) dalam Duranti,
2000). Tindak tutur diwujudkan dengan tuturan sebagai unit-unit minimal
komunikasi bahasa dapat berupa produksi simbol, kata, atau kalimat (Searle,
l969:16). Wijana (1986) mengisyaratkan bahwa tindak tutur dapat diwujudkan
dengan tuturan bermodus deklaratif, interogatif, dan imperatif langsung atau
tidak langsung dengan makna literal atau tidak literal.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat
dikatakan bahwa bentuk tindak tutur adalah
tuturan yang digunakan untuk menyatakan tindak tutur. Bentuk tindak tutur
berupa tuturan dengan modus deklaratif,
interogatif, dan imperatif. Tuturan bermodus deklaratif adalah tuturan
yang secara konvensional (pada umumnya) digunakan untuk menyampaikan informasi.
Tuturan interogatif adalah tuturan yang secara konvensional digunakan untuk
bertanya, dan tuturan imperatif adalah tuturan yang secara umum digunakan untuk
memerintah. (Abdul Chaer dan Agustina, 1995: 64)
Sebagai contoh, perhatikan tuturan
pada percakapan berikut.
(1) A: Ibu saya lapar.
B: Makan jajan ini dulu,
Nak!
Tuturan si anak pada (1) A berfungsi atau
bermaksud meminta makan kepada ibunya. Sesuai dengan maksudnya, tindak tutur
yang dinyatakan tuturan itu disebut tindak tutur meminta. Tindak tutur tersebut
diwujudkan dengan tuturan bermodus deklaratif. Karena diwujudkan dengan tuturan
bermodus deklaratif, maka bentuk tindak tutur meminta tersebut berupa tuturan
bermodus deklaratif. Tuturan tersebut seharusnya digunakan untuk memberitakan
tetapi digunakan untuk memerintah secara halus (meminta). Karena itu, tuturan
tersebut digunakan dalam makna tidak sebenarnya, bukan makna sebenarnya (makna
literal) sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan tersebut berupa tuturan
deklaratif tidak langsung.
2.5 Strategi Penyampaian Tindak Tutur
Strategi tindak tutur adalah cara-cara yang digunakan partisipan tutur dalam mengekspresikan tindak atau fungsi tindak tutur menggunakan
tuturan tertentu. Dalam kaitan ini, Wijana, (1986) mengisyaratkan bahwa
strategi penyampaian tindak atau fungsi tindak tutur dapat diwujudkan dengan
tuturan bermodus deklaratif, interogatif,
dan imperatif (bermakna literal atau nonliteral dan langsung atau tidak
langsung). Sejalan dengan hal tersebut, Brown
dan Levinson (1978) mengatakan bahwa tuturan yang mengekspresikan tindak tutur
pada umumnya menggambarkan strategi penyampaian tindak tutur tersebut.
Para ahli umumnya membedakan strategi
penyampaian tindak tutur atas dua jenis, yaitu strategi langsung dan tidak
langsung. Blum-Kulka (1989) mengatakan bahwa strategi langsung dan tidak
langsung yang digunakan dalam penyampaian tindak tutur berkaitan dengan dua
dimensi, yaitu dimensi pilihan pada bentuk dan dimensi pilihan pada isi.
Dimensi bentuk berkaitan dengan bagaimana suatu tuturan diformulasikan atau
bagaimana ciri formal (berupa pilihan bahasa dan variasi linguistik) suatu
tuturan dipakai untuk mewujudkan suatu ilokusi. Dimensi isi berkaitan maksud
yang terkandung pada tuturan tersebut. Jika isi tuturan mengandung maksud yang
sama dengan makna performasinya, maka tuturan tersebut dituturkan dengan
strategi langsung. Sebaliknya, jika maksud suatu tuturan berbeda dengan makna
performasinya maka tuturan tersebut dituturkan dengan strategi tidak langsung.
Selanjutnya, Searle (dalam Murtinich,
2001) menyatakan bahwa strategi langsung
yang digunakan dalam menyampaikan fungsi tindak tutur oleh Pn terhadap Mt
menggunakan tuturan dengan makna yang jelas atau yang merealisasikan makna
dengan memfungsikan tuturan secara konvensional, baik yang bersifat linguistik maupun nonlinguistik. Hal itu dilakukan
dengan mengandalkan dan untuk mencapai
pengetahuan bersama. Selanjutnya, dalam penggunaan strategi tidak langsung, Pn mengekspresikan tindak
tutur dengan cara memfungsikan tuturan
secara tidak konvensional dan umumnya motivasi serta tujuan
pengutaraannya adalah kesopanan, walaupun tidak sepenuhnya demikian.
Menurut Blum-Kulka (1989) bahwa
tindak tutur diungkapkan secara langsung agar mudah dipahami oleh mitra tutur.
Tindak tutur diungkapkan secara tidak
langsung khusus digunakan bertujuan untuk menghindari konflik, menjalin hubungan harmonis, memperluas topik, menjalin
kerja sama atau solidaritas sosial, dan mengupayakan agar komunikasi tetap
menyenangkan. Hal itu sesuai dengan
yang dikatakan Kartomihardjo (1993), bahwa dalam hal-hal tertentu dalam sosial
budaya tertentu, penggunaan strategi dengan tuturan langsung bukanlah perilaku
yang baik karena mungkin akan menyakitkan hati orang lain. Bila perlu, mereka
lebih baik menggunakan strategi dengan tuturan secara tidak langsung atau
terselubung, dan membiarkan peserta tutur mengartikannya sendiri maksudnya.
Strategi tidak langsung yang dimaksud
dalam pandangan tersebut, dapat dikatakan sebagai strategi tidak langsung dengan maksud yang samar-samar atau
strategi pengekspresian tindak tutur dengan maksud terselubung.
Sebagai contoh perhatikanlah tuturan
dalam percakapan berikut.
(1) a. Tolong
di ulang, Bu!
b. Coba tunjuk satu-satu, Pak! Biar semua dapat!
Tuturan siswa pada butir (a) berfungsi atau bermaksud meminta
guru mengulang penjelasannya. Sementara itu, tuturan siswa pada butir (b)
bermaksud meminta guru menunjuk siswa satu per satu untuk menjawab pertanyaan
agar tidak ribut. Sesuai dengan maksudnya, tindak tutur yang dinyatakan
masing-masing tuturan itu disebut tidak tutur meminta. Tindak tutur tersebut
diwujudkan dengan tuturan bermodus deklaratif. Tuturan tersebut mengandung
maksud yang sama dengan makna wujud sebenarnya atau performasinya, maka tindak
tutur meminta yang dinyatakan siswa terhadap guru tersebut dituturkan dengan
strategi langsung.
Kemudian perhatikan pula tuturan
dalam percakapan berikut.
(2) G :Nah, coba Agustini! (a)
S: (sedang tertawa kecil bersama
temannya). (b)
G: Jangan tertawa Agustini!
S: Yang lainnya belum pernah, Bu!. (c)
Tuturan siswa pada butir (2) (c) menggambarkan
strategi langsung yang dinyatakan dengan tuturan deklaratif yang digunakan
untuk memberikan informasi. Untuk menyampaikan informasi
tersebut, tuturan itu sekaligus
mengisyaratkan adanya strategi tidak langsung yang digunakan untuk meminta dan
menolak perintah guru. Dalam hal ini, siswa secara langsung menginformasikan
dan mengingatkan guru bahwa banyak siswa yang belum pernah ditunjuk. Kemudian,
secara tidak langsung (dengan strategi tidak langsung yang samar-samar dan
terkesan sebagai sindiran), siswa menolak perintah guru dan sekaligus meminta
guru untuk menunjuk siswa yang lain yang belum pernah mendapat giliran.
Hal itu disampaikan siswa untuk merespons
perintah guru pada (2) (a) setelah guru
menegurnya karena tertawa saat akan ditanya guru, seperti pada (2) (b).
Dengan
mengadaptasi teori-teori tersebut, strategi tindak tutur dapat dibedakan atas strategi langsung dan
tidak langsung. (1) Strategi langsung yaitu strategi penyampaian tindak
tutur menggunakan tuturan yang bentuknya mempunyai makna sama (atau mirip) dengan maksud pengutaraannya. (2) Strategi
tidak langsung adalah strategi penyampaian tindak tutur menggunakan tuturan yang bentuknya mempunyai makna yang tidak
sama dengan maksud penuturannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Hakikat
tindak tutur itu adalah tindakan yang dinyatakan dengan makna atau
fungsi (maksud dan tujuan) yang melekat pada tuturan. Tindak
tutur merupakan unit terkecil aktivitas bertutur (percakapan atau wacana) yang terjadi
dalam interaksi sosial.
Austin membedakan atau mengklasifikasi
tindak tutur menjadi tiga jenis berdasarkan
daya atau kekuatan yang dimilikinya. Ketiga jenis tindak tutur tersebut
sebagai berikut.
v Lokusi adalah makna dasar dan makna
referensi (makna sebenarnya yang diacu) oleh tuturan itu.
Dengan kata lain lokusi adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat,
sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu sendiri.
v Ilokusi adalah fungsi atau
maksud dan tujuan penggunaan tuturan itu. Dengan
kata lain ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi
tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya.
v Perlokusi adalah hasil atau dampak maksud
dan tujuan penggunaan tuturan itu terhadap pendengar, baik
yang sesuai dengan yang diharapkan maupun yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan kata lain perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh
kepada sang mitra tutur oleh penutur. (Kunjana, 2002:17)
Tiap tindak
tutur mempunyai fungsi. Fungsi tindak tutur itu tampak pada maksud atau tujuan
(untuk apa tuturan itu disampaikan). Fungsi tersebut antara lain untuk menyampaikan sesuatu berkaitan dengan kebenaran
proposisi atau pernyataan yang diungkap, misalnya, menyatakan menerima atau
menolak, mengusulkan, membual, mengeluh, mengajukan pendapat, melaporkan;
meminta lawan tutur melakukan sesuatu untuk menghasilkan suatu efek terhadap
tindakan yang dilakukan oleh penutur; misalnya, memesan, memerintah, memohon,
menuntut, memberi nasihat; untuk menyampaikan sesuatu yang terikat pada suatu
tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan; mengungkap atau
mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam
ilokusi, misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat; mengungkapkan
pernyataannya yang keberhasilan pelaksananya tampak pada adanya kesesuaiannya
dengan realitas tindakan.
Bentuk tindak tutur adalah tuturan yang digunakan untuk
menyatakan tindak tutur. Bentuk tindak tutur berupa tuturan dengan modus deklaratif, interogatif,
dan imperatif. Tuturan bermodus deklaratif adalah tuturan yang secara
konvensional (pada umumnya) digunakan untuk menyampaikan informasi. Tuturan
interogatif adalah tuturan yang secara konvensional digunakan untuk bertanya,
dan tuturan imperatif adalah tuturan yang secara umum digunakan untuk
memerintah.
Strategi tindak tutur adalah cara-cara yang
digunakan partisipan tutur dalam mengekspresikan tindak
atau fungsi tindak tutur menggunakan tuturan tertentu. Para ahli umumnya
membedakan strategi penyampaian tindak tutur atas dua jenis, yaitu strategi
langsung dan tidak langsung.
Tindak tutur yang melekat pada tuturan dengan fungsi yang direpresentasikannya dan strategi
penggunaannya hanya bisa dikenali secara jelas melalui tuturan dan konteks
penggunaannya dalam peristiwa tutur.
3.2 Saran
Setelah makalah ini selesai ditulis, kami
sebagai penulis menyarankan agar pembaca dapat mempelajari makalah yang berisi
beberapa materi mengenai Tindak Tutur ini dengan baik. Diharapkan dengan
membaca makalah ini, pembaca mendapat pengetahuan dan informasi yang
bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahardi,
Kunjana. 2002. Sosiopragmatik.
Jakarta: Erlangga.
Tarigan,
Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik.
Bandung: Angkasa.
Wijana,
Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik.
Yogyakarta: ANDI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar